Hay hay people!!! How are you? Aal iz well?? :)
I’m sorry for quite a long time not updating the journal, kinda busy preparing of leaving for Thailand by next week. And… surprisingly, I am called for scholarship interview last week. And… here’s the story!
Oke, jadi ceritanya hari Selasa atau Rabu minggu lalu nggak sengaja aku lihat update Twitternya Dikti, katanya pengumuman hasil seleksi tahap 1 sudah ada di website. FYI, aku ikutan daftar Beasiswa Unggulan (BU) Dikti. Maka dengan rasa penasaran plus excited plus harap-harap cemas, aku langsung nyalakan PC, sambung internet, buka Twitternya Dikti, terus aku buka deh link-nya, dan… teroretroreeet… ada nomor registrasiku!!! Lalalalala... senengnya bukan main, sampe teriak-teriak di rumah, sampe sama mamaku dikira ada kebakaran. Heu...
Why BU Dikti? Emang nggak dianjurkan sih sama dosen-dosenku buat daftar beasiswa ini, tapi aku nekat aja. Dengan pertimbangan setelah lulus S2 memang aku berencana untuk jadi dosen, walaupun konsekuensi bagi penerima beasiswa ini adalah ”mengabdi kepada Dikti selama waktu 2n+1”. Jadi kalau ambil S2 dua tahun, ya harus mengabdi pada Dikti selama lima tahun, dan itu adalah... ditempatkan dimanapun Dikti butuh, termasuk di Indonesia timur. Mati aku! Tapi hajar aja lah... I necessarily need any financial aid to support my study. Sumpah nggak enak banget kalo masih bergantung sama ortu, hari giniiii pula.
So, beberapa bulan lalu, aku menerima letter of acceptance (LOA) dari AIT, yang dengan so sweet nya tertanggal 12 Mei 2011, pas banget di hari ulang tahunku yang ke 24 (hik, terharu...). Dan kaget setengah mati lihat angka-angka yang tertera di dalam surat, di kolom SELF-SUPPORT, yang kalo dirupiahin kira-kira bisa buat bikin rumah. Mateng kooon! Dari mana duit segitu? Ortuku harus jual sawah tuh. (nangis darah, guling-guling di pasir, garuk-garuk aspal).
Dan setelah cari info kesana kemari, akhirnya kucoba lah apply BU Dikti ini, dengan segala terms and conditionnya. Sebenernya bingung juga, karena secara pekerjaan I currently UNEMPLOYED yet, bener2 pengangguran, jadi nggak ada instansi yang mengirim ataupun merekomendasikan aku (sedih). Padahal gosipnya beasiswa ini khusus buat dosen, atau calon dosen. Nah, aku mau daftar jadi dosen di UGM aja udah hopeless gara-gara IPK nggak memenuhi... gimana coba. Nekat aja deh, aku kirim formulir beserta dokumen-dokumen yang harus dilampirkan. Mana ngirimnya udah mepet deadline, mana skor TOEFL-ku belum jadi. Haaa... pusing banget. Tapi kata dosenku, ”Kayaknya boleh disusulkan deh, kamu bikin surat pernyataan bermaterai aja,”. Dan yak, kubuatlah surat pernyataan bermaterai kalo skor TOEFL-ku belum jadi dan bakal nyususl secepatnya. Baru sekitar 2 minggu kemudian aku kirim sih... hehehe...
Selanjutnya, saya menunggu nasib, lolos seleksi syukur, nggak lolos juga syukur... (pasrah banget). Dan ternyata lolos, dipanggil wawancara. Sialnya, di surat tertulis ”jadwal dan tempat wawancara menyusul (tentatif)” wah!
Tiap hari kupantengin twitter, kok nggak nongol-nongol tuh update jadwal. Aku telpon ke kantor Dikti pusat yang di Jakarta, telponnya dialihkan, terputus begitu saja. Kirim e-mail ke Dikti, juga nggak dibales-bales (and you know what? Baru dibales 2 hari setelah wawancara, “Wawancara di Yogyakarta sudah dilakukan pada tanggal 23 Juli 2011, jika belum mengikuti wawancara bisa mengikuti di kota lain,” *deep sigh). Aku baru tau ada jadwal wawancara waktu apa coba? Pas lagi makan-makan sama geng temen-temenku SMA, hari Jumat malem, dan salah satu temenku bilang, “Lho Tid itu kan wawancaranya besok di Inna Garuda,” whaaaat? ”Coba kamu liat website lagi deh, baru tadi kok updatenya,” edyan.
Sampai rumah langsung aku cek ke website Dikti, dan beneran, “Hari Sabtu tanggal 23 Juli 2011 jam 08.30 di Hotel Inna Garuda”, baguuss… Pas banget di hari itu si Kamen Rider dateng ke Jogja, berantakan dah jadwal kencanku pagi itu. Tapi..., ehm, si Kamen Rider mau mengantar dan menungguiku wawancara. HOREEE!!
And as planned, pagi jam 8 aku berangkat dari rumah menuju Hotel Inna Garuda di Malioboro, berbaju rapi pake rok item dan blouse ijo toska, dandan cantik, kinyis-kinyis (halah). Sebenernya grogi, tapi tekad dari rumah, ”Jadilah dirimu sendiri, toh dapat atau nggak dapat beasiswa ini aku tetep berangkat, nanti bisa cari beasiswa lain, sejuta jalan menuju Roma, tuntutlah ilmu sampai ke negeri CINAAAA!!!” (raise a punch to sky!) Eh aku kan mau ke Thailand, salah salah.
Fakta mengejutkan, sampai di venue, aku tanya satpam, ”Pak wawancara Dikti di ruang mana ya?” pak satpam nggak tau, suruh tanya di resepsionis. Dan… aku tanya resepsionis, “Nggak ada tuh mbak…,” lah ini gimana to, apa aku salah jadwal lagi ya? (garuk-garuk kepala), bingung, mulai panik, ”Ini yang lainnya juga pada nanyain Dikti,” kata mbaknya sambil menunjuk ke arah kursi-kursi. JRENGGG!!! Ternyata ada mbak-mbak mas-mas segambreng berpakaian rapi yang bertujuan sama, dan sama-sama terdampar. Hahaha... piye to iki? Untungnya diantara mbak-mbak dan mas-mas itu, aku menemukan 2 sosok yang kukenal, kakak-kakak angkatanku (yang sudah berprofesi sebagai dosen UGM, envyyy...).
Hampir sejam terlunta-lunta nggak jelas, akhirnya muncullah professor-professor dari Dikti. Dan sepertinya ada yang nggak beres dengan reservasi dengan pihak hotel. Tapi apa pun, toh itu urusan mereka (walopun aku sempet ngedumel juga tadinya, hehehe).
Fokus, apapun yang akan terjadi di ”ruang eksekusi” nanti, nothing to lose aja, begitu pikirku selama menunggu. Sambil ngobrol-ngobrol dengan si pacar dan peserta-peserta wawancara yang lainnya. Beberapa orang yang sudah diwawancara mulai mengeluarkan kisi-kisi pertanyaannya. Wah, lumayan berat juga, tapi sekali lagi, hajar ajaaa!
Tibalah waktu aku dipanggil. Aku melangkahkan kaki dengan mantap ke ruang wawancara. Tapi, brrr... aku disambut sama dinginnya AC, jujur yaa... kalo wawancara di ruang ber-AC duingin gitu seringnya aku malah jadi kagok, susah ngomong dll karena fokus menghangatkan badan. Hahaha... So, que sera sera... kita lanjut ke sesi wawancara!
Wawancara berlangsung menggunakan bahasa Inggris, sodara-sodara, yap, bahasa Inggris full, nggak ada campuran Indonesia-nya blas, walaupun bapak-bapak pewawacara adalah orang Indonesia asli dan logatnya juga medhok. Berat berat..., walaupun aku juga suka sok-sokan pake bahasa Inggris, it does not mean I can speak English fluently, aslinya aku plegak-pleguk abis. Sampe disindir sama si bapak pewawancara, “Your TOEFL score is pretty good but you seems so nervous speaking in English,” dan kujawab, “Yes, I am nervous, honestly,” sippp… cakep banget deh dibantainya. Huftt..
Pada dasarnya beasiswa ini cukup memberatkan pada kesanggupan peserta untuk memenuhi kewajiban “mengabdi” setelah menyelesaikan studinya. Pertanyaannya malah kebanyakan seputar rencana menikah. Aku malah ditanya udah punya pacar, kalian ada rencana menikah kapan, pacarnya kerja dimana, apa dia setuju kalau kamu ditempatkan dimana saja, dll dll. Ini kok lucu juga ya, malah jadi santai gitu rasanya, kayak nggosip aja. Ya aku jawab aja apa adanya. Kalau mengabdinya hanya selama 2n+1 sih masih oke, tapi kalo lebih, bweh... mikir lagi. Beberapa peserta yang udah bekerja atau terikat sama instansi malah kelihatannya lebih ribet lagi, karena urusan kontrak ini-itu. Karena yaa, itu tadi, penerima beasiswa harus mau ditempatkan dimana saja.
Uwaaah... (stretching stretching)
Sekian sharing saya mengenai kejar-kejaran sama BU Dikti. Sampai tulisan ini diketik, masih belum ada pengumuman selanjutnya dari Dikti. Sementara hari keberangkatan sudah tinggal seminggu lagi. Doakan saja saya beruntung, dan mendapat hasil yang terbaik. Amiin... SEMANGAT SEMANGATTT!!!
For dream
For the future
For life!!!