
Wednesday, June 27, 2012
Self Understanding

Wednesday, March 30, 2011
Hari Film Nasional, Then?
Hai people! Do you feel okay today? I somewhat feel a bit bored with the jobless life today, nothing to do, and everything still uncertain :(
Sepagian tadi di radio, twitter dan facebook semuanya update kalau hari ini didaulat sebagai Hari Film Nasional, yup, harinya film Indonesia, yang konon tanggal 30 Maret diambil berdasarkan hari shooting pertama film “Doa dan Darah” yang disutradarai oleh Usmar Ismail pada tahun 1950. Film Doa dan Darah sendiri adalah film pertama yang dibuat oleh anak bangsa dan perusahaan milik bangsa Indonesia sendiri (PERFINI) dimana Usmar Ismail juga termasuk salah satu pendirinya. (wikimu.com)
And then? What should we do to commemorate this historic day? Is anyone would see Indonesian movies in 21 today, which is almost all of the movies are cheap sex or horror in genre. Huff… sorry to say, I ABSOLUTELY WOULDN’T WANNA COME TO CINEMA TO SPEND MY MONEY FOR IT. So, how could we appreciate Indonesian movies if the movie offered is still underrate?
Though film making is not my main concern anymore, and I recently become only an ordinary moviegoer or I called it movie appreciator, but I think I really care with our local movies, not only in national scale but also regional.
Bisa dibilang aku sepertinya sudah addicted to movie (dalam bahasa klub filmku, FIAGRA, disebut movieholic). Hampir setiap minggu pasti ada sekali atau dua kali lah aku pergi ke bioskop, XXI maupun 21, dan kalau udah lebih dari 2-3 minggu aku nggak ke bioskop, dan nampak bete, pasti driverku langsung nawarin, “Mbak nggak ke XXI?” hahaha, sampai hapal beliau.
Papaku juga suka ngajakin ke bioskop, kalo lagi ada film Indonesia yang (nampaknya) oke, atau ketika lagi suntuk, dan itu maunya nonton film Indonesia. Waktu aku tawarin buat nonton film barat ke XXI, beliau menolak, “Ah, nonton film Indonesia aja ya, yang ringan, nggak pake mikir”. Wah, film Indonesia ringan dan nggak pake mikir? Yah, mau gimana lagi, habis yang kebanyakan ditawarkan di bioskop emang yang genre-nya kayak gitu sih, ringan dan nggak bergizi. Sekalinya ada film bagus, kalo promosinya sip, kaya Laskar Pelangi, antre bisa membludak (bikin males), atau kalau promosinya kurang gencar bakalan sepi nyenyet kayak Ruma Maida atau May. Hew...
Sebenarnya susah juga buat menebak selera orang Indonesia dalam menonton (dan juga membuat) film. Menurutku, antara supply dan demand saling berbanding terbalik. Tren antara selera pasar dan selera film maker nggak pernah cocok. Akibatnya, kita sebagai penonton lebih banyak tetep milih nonton film Hollywood atau film Korea atau malah film Bollywood ketimbang film Indonesia. Padahal pilihan film Indonesia itu buanyaaak banget, ya walaupun harus diakui film-film yang gampang dijangkau ya film-film major yang diputer di bioskop itu ketimbang film indie yang nyarinya susah minta ampun.
Film major, ya seperti yang diputer di bioskop-bioskop itu, as you know, mengalami penurunan kualitas yang (menurutku) signifikan, dibandingkan dengan jaman-jaman pasca Ada Apa dengan Cinta? (AADC), yang dibilang sebagai masa kebangkitan film Indonesia dari mati suri. Siklusnya mbalik lagi ke film-film bermuatan sex dan horror nggak jelas. Film bagus berkualitas kemana? Wara-wiri dan juara di festival-festival tapi nggak pernah ngasih liat hasil karyanya ke masyarakatnya sendiri. Huft...
Film indie? Onani. Hehehe, sorry for saying (maybe) a bad word. But that’s what I’m thinking about indie films. Bahasa gampangnya, terlalu idealis, sebagai media ekspresi yang hanya memuasi diri sendiri (si pembuat film) dan hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu (ya terutama yang sama-sama membuat film). Padahal film dengan “pesan” tertentukan bisa juga dikemas dalam adegan-adegan yang ringan tapi mengena, nggak musti melulu pakai adegan dan shot-shot yang dark and gloomy, dan terlalu banyak adegan surealis dengan pesan tersirat, capek nerjemahinnya dua kali. Atau hanya aku saja yang berpikir demikian ya?
Pernah berpengalaman memproduksi film-film independent bukan berarti aku juga bisa bikin film yang oke, sehingga bisa seenak jidat ngeritik seperti di atas. Beberapa kali juga aku mencoba membuat karya dengan genre dan tema yang berbeda-beda, hanya untuk mencari sebenarnya gimana sih memformulasikan sebuah karya film yang bagus itu? Nggak cuma buat pembuat film, tapi juga penontonnya.
Technically, membuat film itu ya kayak gitu-gitu aja, bisa lah semua orang bikin kalau udah belajar tekniknya. Seperti karya seni yang lain, yang membuatnya lebih bernilai adalah muatan yang dibawa oleh film itu sendiri. Sebuah karya film harus inspiring, menginspirasi penontonnya, dan bisa mempengaruhi penontonnya untuk menjadi lebih baik atau at least berpikir lebih mendalam untuk menjadi lebih baik. Film itu karya yang multi-interpretasi, karya yang paling gampang disalahpahami. Yang dipikirkan penonton bisa nggak sejalan dengan yang dipikirkan pembuatnya, dan yang dipikirkan oleh satu penonton dengan penonton lain juga bisa beda-beda. Inilah yang bikin sulit. Contohnya, menurutku film Sex is Zero (film Korea yang dibintangi oleh Ha Ji Won) itu keren banget dan pesan moralnya dalem, walaupun kemasannya emang nampak ringan dan murahan banget. Tapi yang dipikirkan oleh temenku beda, itu film murni hiburan kocak yang bermuatan sex. Nah... bingung kan? Hal ini berlaku juga buat film Indonesia.
Berharap nanti akan ada banyak lagi film-film Indonesia yang bagus, jangan cuma dikirim ke festival aja, dan cuma diputer di event-event tertentu, tapi juga tayangkan di bioskop. Fight those cheap underrated films! Biar semuanya berlomba-lomba untuk membuat film yang bagus, nggak kalah dengan film-film Hollywood. Biar penonton Indonesia lebih memilih untuk menonton film-film karya bangsa sendiri lagi :)
Wednesday, January 26, 2011
What's Next?
What about me lately? Yeah, setelah hampir seminggu melalui rute yang sama, naik turun bolak balik JUTAP (Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan) – KPTU FT (Kantor Pusat Tata Usaha Fakultas Teknik) – Rektorat – JUTAP lagi – KPTU lagi setiap hari, maka di akhir minggu ketiga bulan Januari secara resmi tubuh kucing pink ini menyusut 1 kilogram. Gyahaaha… Nggak signifikan banget ya? Iyalah, emang sih secara penampakan perutku jadi agak langsingan, tapi kondisi ini berbanding terbalik sama kempol yang membengkak akibat kebanyakan “mendaki”!!! Ew…
Selama sekitar seminggu kemarin, akhirnya mau nggak mau aku dituntut untuk mngerjakan 3 keribetan sekaligus: revisi – daftar yudisium – daftar wisuda. Dan aku juga baru tau kalo ternyata buat meluluskan diri itu ribetnya bukan main!!! Harus siap fisik, mental dan financial. Aku sampai nangis-nangis di hari Jumat pagi yang cerah minggu lalu gara-gara nyari penjilidan kilat kok nggak nemu-nemu. Aku ragu kalo ke tempat njilid yang biasanya nggak bisa cepet… eh ternyata aku malah berujung di tempat penjilidan biasanya itu. Hehehe… Terus mau daftar yudisium, semua syarat udah oke, kecuali… yak, kecuali satu, surat keterangan bebas bayar-bayaran. Pertama aku dibilang belum bayar SPMA, udah aku kasih bukti-bukti, oke. Besoknya dibilang lagi belum bayar BOP semester 1 tahun 2005 dulu. AMPUN DEEH!!! Sialnya lagi, itu kuitansi jaman jebot udah nggak tau ilang kemana rimbanya,kebuang, atau mungkin udah dimakan rayap. Bingung-bingung, mana dionclang-onclang dari instansi satu ke yang lain dari KPTU – JUTAP – BANK – Rektorat – KPTU lagi – JUTAP lagi, beneran, kayanya sistemnya sengaja dibikin kayak gitu supaya mahasiswanya ini lebih singset waktu wisuda nanti. Hahaha, ngareep!
Oke, pada intinya, Insya Allah saya (finally) bisa wisuda bulan Februari besok. Moga-moga Gunung Merapi kalem, atau nggak ada serangan UFO, biar wisuda bisa diadakan lancar tanpa halangan suatu apa pun… Amin… Kalo nggak, bisa kualat aku karena keseringan ngejekin temen-temen yang gagal wisuda November lalu. Hahaha… peace friends!

Mendadak di malam yang dingin dan damai ini, mamaku yang sedang asik merajut, dan papaku yang sedang pusing ngoreksi hasil ujian mahasiswanya bilang, “Siap-siap aja habis ini kamu ditanyain orang kerja dimana, kamu mau jawab apa?”
Damn, bikin aku gemeter meriang mikirinnya. Aku belum kepikir seserius itu untuk menjawab pertanyaan yang sesimple itu. Maybe its equal to “Kapan kamu lulus?” atau “Kapan nikah?”, dan pertanyaan berat lainnya yang bakal sering muncul ya itu…. “Sekarang kerja dimana?”. Huuffft… (menghela napas panjang sampai sesek).
I’m still planning what I want to do next, for my future, for my life, while some of friends already set up their future in a concrete steps.
Question: are you really competent in it?
DOENG!!
(hammer fell down to head)
Dream: become a professor
Genie said: “NGIMPIII!!!”
I will live my life in my own way, I don’t want to be like others, just waiting for job vacancies, apply to some different companies, working behind desk, and so on and so on that sound so boring and no passion at all.
If I unemployed, I will employ myself. I will do the best for life, not depending on WHERE I work in, but WHAT I do FOR.
In concrete way… really, I didn’t send any application letters to any companies or institutions yet. For short term, I will improve my skill in language and computer, also widen my knowledge in many things I interested in, like culture, environment, design, or even handicrafts. I plan to look for scholarships overseas, or at least ITB. But what I’m going to do for living? I’ll take any short term projects in the field of urban planning or design.
All I can do is planning it and do it well.
Wish me luck, friends!
Thursday, March 11, 2010
What are You Gonna Be, Planner?
Hay, it’s me again.
Nggak bosan kan kalian membaca tulisanku? Hahaha… yeah, I promised myself not to make those worthless love theories anymore. Walaupun aku sendiri nggak yakin bisa mengendalikan pikiranku untuk berhenti menuliskan apa-apa yang kupikirkan tentang itu. Ya, cinta. Sudahlah, back to reality, apa yang sedang kulakukan ini setengahnya adalah hasil kegilaanku sendiri. Apa sih?
Meluluskan diri dari UGM di bulan Mei.
Oke, that’s my utopian plan.
I have many more utopian dreams inside my head, and I already know it will be worthless if I don’t put any efforts to reach them.
One day, I walked on my thesis object location, Selokan Mataram, alone by myself. I didn’t observe anything there. I just walk, and think. What will I do for it? Not just for the canal itself or people around it, but also for the world. What can I do?
Belajar perencanaan wilayah selama hampir 5 tahun lalu apa yang mau kulakukan? Menuruti ambisi pribadi untuk menjadi traveler? Hanya bawa otak kosongan aja? Aku cuma ngabis-ngabisin avtur buat terbang kemana-mana, tapi nggak ngapa-ngapain, oh, apa kata dunia?
Aku nggak bercita-cita untuk jadi planner yang hanya kerja kantoran atau passively sibuk menunggu bukaan lowongan CPNS. Banyak yang bisa kujadikan bekal untukku menuntaskan ambisi seraya memelihara kesehatan dunia ini. Terutama banyak hal yang aku ingat dan aku pelajari dari kerja praktekku di Desa Geluntung, Tabanan, Bali. Mungkin sekilas nampaknya pekerjaanku itu cuma ada bersenang-senang dan bermain bersama anak-anak aja, atau hanya membuat peta saja. Kerjaan planner nggak sesempit itu. Ilmu planning itu luas, saking luasnya sampai aku disuguhi dengan berbagai macam pilihan spesialisasi yang bisa didalami lagi. Kita bisa survive dimana saja!
Hmm, kesannya kok kayak promosi prodi ya? Hehehe…
Nggak nggak. Aku sedang memikirkan diriku sendiri kok.
Beberapa hari yang lalu aku main-main ke Amplaz, dah lama juga nggak ke pusat keramaian kayak gitu, janjian sama papa juga sih. Beliau sudah nunggu di Gramedia, maka kami (aku dan adikku pun menuju kesana). Aku baru jalan sampai di depan Indo Musik waktu adikku bilang, “Sik sik (sebenta sebentar) cik, itu ada anak-anak Greenpeace nggak?” dan dengan mata rabun parah gini, aku memaksakan akomodasi mataku untuk melihat sekitar 30 meter di seberang sana. Waow, ada, beberapa pemuda berbaju hijau stabilo itu. Kami pun mengatur strategi untuk menerobos masuk ke Gramedia dengan aman, “Yo, pura-pura nggak tau aja lah, pura-pura nggak cinta lingkungan,” hahaha… kalo ketahuan aku ngomong kaya gini, pasti Bli Agung (coordinator kerja praktekku) nggak setuju banget deh.
Sharing with Agus Wes, Greenpeace activist, member of Rainbow Warrior
Bukannya aku nggak cinta lingkungan beneran ya… sumpah. Dan aku juga banyak bertemu dan sharing dengan aktivis-aktivis lingkungan selama kerja praktek. Dan aku sadar kalo masalah itu makin menumpuk saja seiring juga dengan masalah-masalah kemanusiaan yang terjadi. Terus mau gimana? Demo ke pemerintah? Jelas nggak akan menyelesaikan masalah! Yang ada juga malah nambah sampah dimana-mana, bekas demo. Aksi mogok makan, minum, bicara, topo pendem? Halah, kaya orang kurang kerjaan aja. Masih banyak kok yang bisa dilakukan.
Dan aku sedang memikirkan apa yang bisa kulakukan. Jujur, aku nggak berani ngomong tanpa ilmu dan di luar kapasitasku, jadi aku nggak bakalan berani demo. Dan kondisi kesehatanku yang sering nggak bisa diajak kompromi sama otak ini jelas nggak mungkin mengijinkan aku buat mogok makan dan minum, buat mogok bicara ah…selama masih bisa update status di hp sih itu sama aja bohong, apalagi topo pendem duh ada waktunya kok buat itu.
Aku melihat kebanyakan orang yang bener-bener memelihara lingkungan itu nggak pernah banyak ngomong besar kayak aku gini. Mereka melakukan hal-hal dari yang paling dekat dan sederhana. Sampai aku terheran-heran, Bli Agung itu dari bertahun-tahun bikin proyek ini-itu di desanya, adaaaaa aja. Mulai dari ngecat rumahnya pakai bahan alami, bikin pemanas air pakai sinar matari (bener-bener air yang dijemur), radio komunitas dengan tenaga surya, motor matic tenaga surya, dan lain-lain eksperimennya (yang kebanyakan sih berbasis solar cell juga). Itu baru contoh ramah lingkungannya aja.
Modified electric motorcycle, suryamukti e+bike
Making a simple distance measurement tool
Briefing before the trekking started
Urusan community development, segala macam kegiatan pernah diselenggarakan. Dari kumpul bocah, gathering, kursus/pelatihan computer dan bahasa asing, sampai pertunjukan seni. Semuanya untuk memajukan masyarakat sekitarnya.
Bengong aku. Nggak tau gimana harus mingkem lagi. Beliau memang hebat... the real architecture and more.. seniman, environmentalist, advocator, apa lagi? Mengajak masyarakat untuk berkembang bersama, melestarikan alam dengan budaya masyarakatnya.
Being more adventurous and sociable; walking around the fields, woods and village with kids
Playing a mud war with village kids in the ricefield, could our children experience this too in the future??
Suatu hari mamaku bilang, “Coba kamu kembangkan wilayah sini mbak,” dan dengan pesimis dan less enthusiasm aku menjawab, “Wah, sulit,” why it so difficult for me? Aku nge-judge duluan bahwa masyarakat sini kurang bisa diajak berkembang. Mendingan aku hijrah ke luar kota atau maalh ke luar negri sekalian deh. Hey!!! Wake up, tugas sebagai planner adalah membuat mereka bersemangat mbangun desa (seperti judul serial di TVRI yang terkenal itu). Gimana mereka mau antusias mbangun desa kalo akunya aja males-malesan gini.
Banyak yang bisa dikembangkan, banyak juga yang harus dilestarikan; cagar budaya, alam. Semua akan jadi tanggung jawab kita. Masa kita membangun negri orang lain sementara orang luar membangun negri kita??
Ambisi dan nasionalisme dalam diriku mulai berperang nih.
Awalnya aku berniat belajar planning adalah membuat kawasan wisata, but since I got only C+ on Tourism Planning subject, cita-cita itu pun kukandaskan!! Entah kenapa, walaupun aku bukanlah seorang environmentalist, bukan orang yang cinta-cinta banget sama lingkungan (masih tidur pake AC dan belum melaksanakan 3R secara maksimal), tapi aku ingin bisa menjadi environmental planner. Aku bisa membangun kawasan yang profit oriented, tapi nggak lupa sama lingkungan, kesesuaian lahannya. Dan aku tau, di depan sana, stake holders nggak akan seringan itu untuk kuhadapi. Aku harus lebih banyak belajar. Nggak hanya teori, technically, tapi juga soft skill, berhubungan dengan masyarakat dan lingkungan. Dalam agamaku juga sudah diajarkan untuk berhubungan baik selain dengan Tuhan juga dengan sesama manusia dan lingkungan.
Pertanyaanku, apakah aku harus menjadi environmentalist untuk menjadi seorang environmental planner?
Dan hal yang kupelajari, “We cannot see the future but we can make plans for the future,”
This post is dedicated to :
Bli Agung Putradhyana,
my housemates NGP Diah Padmarani & Danar Wiyoso,
my friends in Geluntung village,
my bestfriends Abdul Jabar & Kartini,
and also for MY FUTURE...
"Always respect nature and culture for a better future…"
FOR THE FUTURE
将来 の ため に
FOR LIFE!!!
生活 の ため に!!!
Sunday, February 21, 2010
Nikah??: Episode 2
Sialnya, siang tadi aku menjadi victim of the day, gara-gara statusku yang masih menjomblo. Sudah sekitar 6 bulan pula. Itungannya lama itu. Habis biasanya nggak pernah ada ceritanya tuh aku menjomblo lama. Hahaha… maka jadilah aku bulan-bulanan ejek-ejekan kakak-kakakku siang ini. Huff… nasiiiibbb…*hiks*
Oke, akhirnya episode keduanya muncul lagi. Apa yang aku pikirkan soal ini? Jodoh itu misteri yang bikin penasaran, perut geli dan hati rasanya nggak karuan. Hah?! Hehehe… memang begitu kan? Aku pikir, embakku itu bertahun-tahun berpetualang mencari cinta, eh, tau nggak, ujung-ujungnya dapet tetangganya waktu kecil dulu. Pek-nggo (ngepek tonggo). Halaaaah!!! Ya, jodoh itu bener-bener misteri.
Hm, nikah. Akhir-akhir ini temenku banyak juga yang nikah. Waw! 22 tahun dan sudah menikah? Belum bisa kubayangkan. Oke, mari kesampingkan soal umur dan angka-angka. Setelah aku pikir, aku sudah siap menikah kok, tapi aku nggak mau, dan nggak tau sama siapa? Hahahaha… (disamplak)
Yayaya… siapa yang bakal jadi partnerku menikah? Orang yang bisa aku ajak jalan di Y track. Remember? I’ve wrote that couple months ago. Banyak pertimbangan buatku untuk memutuskan menikah dengan seseorang. Jangan karena diburu nafsu dan keren-kerenan aja. Nikah memang harus dipikirkan mateng-mateng, sampe mendidih di titik didihnya kalo perlu. Dan jika jawabannya memang “Ya,”… why not??
Let’s get married!!!
Seorang temenku sedang gundah. Sejak semalem dia sms-sms curhat. Aku bingung juga jawabinnya. Gimana nggak. Kondisi aku sama dia kan beda, dan kondisi pemikiran kami jelas-jelas dah nggak bisa sama, diakibatkan oleh statusku yang belum naik pangkat ini. Hahaha… yayaya, jujur, aklo dicurhati masalah relationship sekarang aku kurang asik lagi. Bisa dibilang aku lebih sinis dan cuek soal itu. Bukannya nggak kepikiran sih… tapi… gimana yaaa… f^^ (lha piye to??)
Nikah, nikah. Seperti tujuan akhir sebuah hubungan pacaran. Temenku bilang, kadang dalam pacaran itu kita malah kebebanan dengan pencapaian akhir yang diinginkan itu (nikah). Dan gara-gara itu, timbul berbagai efek samping yang mempengaruhi hubungan, ngalah-ngalahan misalnya. Yang mana pernah kubilang, mengalah itu bukan berarti toleransi lho…
Beban yang seperti ini nih… pengen cepet nikah, pengen nikah ma dia… Hm, apakah kalian bener yakin, orang yang jadi pacar kalian sekarang ini bakalan jadi jodoh kalian?? Kalo endingnya bubar?? Dikecu? Trus ditinggal nikah sama orang lain? Cuma dapet nyesek, kan… Sia-sia dan merasa dunia mau runtuh. Ah… aku pun pernah merasakannya kok (lho, curcol lagi deh). Padahal, emang pada dasarnya enggak jodoh, mau diapain juga ya nggak bakalan nyambung.
We walked on the different path…
Ah… mau ngaco apa lagi yak?
Pokoknya selamat deh buat kakakku ini. Moga-moga segera diresmikan deh… Nggak sabar aku menunggu nih… Dan jangan lupa mbak, doakan aku juga ya… Biar cepet lulus, maksudnya… dan dapet jodoh yang baik juga sih… Hehehe… (maonya si nekopinku!)

Saturday, February 13, 2010
Malem Mingguan
Technically, aku belum pernah malem mingguan udah 1,5 tahun ini. Setengah tahun lalu putus, dan setahun sebelumnya PJJ. Cuma sekali aku malem mingguan, itupun sama sahabatku, dah sebulanan lalu. NGUIK!
Sebenernya aku bingung mau nulis apa, setiap malam minggu pasti tulisanku geje-geje gini sih. Hahahha!!! Kadang iri juga sama temanku, yang pacarnya lagi di luar kota, tapi tiap malam minggu dia adaaaaaaaaaa aja yang ngapeli. Khuuu... Padahal jaman pacaran dulu, aku mbela-mbelain nggak pernah jalan sama cowo mana pun, sekalipun itu sahabatku dari kecil, buat njaga perasaan pacar. Elah dalah, ujung-ujungnya kok aku yang dikecu, diduakan! Asyem!
Iya, sampai dia marah-marah, padahal aku jalan sama sahabatku dari kecil, yang kebetulan cowo. Malah kalo sama orang lain aku boleh-boleh aja jalan. Padahal orang lain itu ambil kesempatan juga kalo jalan sama aku. Lha ya mendingan aku jalan sama sahabatku to, yang jelas-jelas menjaga aku. Akhirnya aku tau, "Lha iya dunk cik, kalo sama dia kamu nggak boleh, wong sahabatmu itu ganteng..." analisisnya adikku. Wuahahaa... yayaya... jadi itu toh alasannya, pantesan kalau jalan sama cowo yang physically nggak ganteng dia nggak apa-apa. Hm, listen to me boy, wanita itu kalau mau jatuh cinta jatuh cinta aja... nggak mesti sama yang ganteng. Dan yang nggak ganteng itu, belum tentu nggak punya maksud-maksud lain...emangnya cuma orang ganteng yang boleh jatuh cinta?? HUH, I still haven't understood what man's think... hmm... not all man I think ^^
Ya ya ya... kisah malem mingguan seorang jomblo emang kadang mbosenin. Apalagi tipe rumahan seperti aku ini, nggak kemana-mana. Satu-satunya acara yang menyenangkan adalah pergi ke luar kota sekeluarga!!! Hahaha, dengan begitu, adikku nggak bakalan didatengin pacarnya, dan malam minggu dijamin aku nggak jadi obat nyamuk bakar yang ngendon di pojokan dan berasap!!! Hihihi... *licik mode on*

Hwah, aku ni meracau apa aja sih?? Mulai nggak jelas kayanya...
Oya oya... besok Valentine ya? Aku nggak ngerayain Valentine sih, tapi ngarep coklatnya (yang udah kuminta dari adikku, sekotak coklat Monggo edisi Valentine...dengan sedikit merayu-rayu *memaksa tepatnya*)
Eh tapi aku ngerayain tahun baru Imlek lho ^^ ditunggu angpao-nya, minna!! hehehe...

...
Monday, February 8, 2010
Sorry, I Stole Your Lover…

“Saiki pancen jaman kecu-kecunan yo…”
Tulisan ini bisa bersifat sangat sensitif dan subyektif, so buat yang nggak tertarik atau nggak setuju, sah sah saja kok.
Beberapa bulan lalu, aku ngepost curhatan tentang sebuah fakta yang terjadi pada hubunganku yang terakhir kemarin. Kira-kira temanya sama sih.
Pernahkah kalian mendengar quote atau pengalaman seperti ini, orang yang cemburu atau takut kehilangan yang berlebihan adalah orang-orang yang melakukannya. Ah, mungkin kalian bingung dengan kalimatku. I’m sorry, I’m not good at making sentences. Ilustrasinya kira-kira seperti yang diceritakan temanku ini.
Dia punya seorang teman, kebetulan cowo, dan sudah punya pacar. Pacarnya ini posesif dan jealousaaaaaan banget. Sampai-sampai facebook si cowo ini didominasi (atau tepatnya disabotase ya?) sama cewenya. Bahkan temen-temennya yang nanya kabar ke si cowo ini yang mbales cewenya. *Hai mbaaaakk, yang ditanya itu cowomu yaaa, bukan kamuu!* Bahkan mantan pacar atau crush si cowo ini juga diteror sama cewenya. Kebetulan, temenku ini salah satu crush dari si cowo. Jadilah dia bulan-bulanan cewenya (apalagi kalo lagi datang bulan mungkin ya…)
Singkat cerita, usut punya usut, kasak kusuk, ternyata… si cewe ini dulunya ngerebut si cowo dari pacarnya. WHATTHE...???
Hubungan yang dimulai dengan kecurangan, pasti akan dijalani dengan kecurigaan. Karena apa? Karena takut kehilangan. Kenapa? Karena dia dulu dapetnya juga mencurangi orang lain. Ngecu. Orang yang pernah ngecu pasti akan takut kehilangan pasangannya secara berlebihan. Curiga yang berlebihan, karena takut, pasangannya akan direbut orang lain seperti ia merebutnya dulu…
Memulai hubungan yang bersih adalah satu-satunya cara untuk menjalani hubungan dengan aman dan nyaman. Percaya diri lah, jika sudah jadi pacar/suami/istrinya, buat apa takut direbut orang lain? Kan kalian yang dipilih oleh pasangan, dari jutaan manusia di dunia ini…
Be positive

Beberapa hipotesisku sepertinya terbukti. I also had experienced it before. STOP STOP! Bukan seperti yang kalian bayangkan sih… Cerita tentang diriku… lihat aja disini.
Nite everyone...
おやすみ なさい。。。
PS:
Gambar ilustrasi post ini nggak beneran lho. Hahaha!!!
Picture credit to my friends, NJ and Dinda.
Wednesday, January 27, 2010
Love is a Long Long Winding Road
Kenapa sih begitu complicated dalam kehidupan manusia?
Oke, buat beberapa individu maupun pasangan, cinta bukanlah suatu hal yang ribet untuk dijalani. Kehidupan cinta hanya menjadi bagian dalam keseluruhan jalan kehidupannya. Tapi buatku, cinta punya tendensi untuk membuat hidupku yang dibiasakan rasional menjadi irrasional, dan cinta adalah satu-satunya “penyakit” yang bisa membuatku berpikir di luar logika.
Dalam suatu diskusi panjang melalui media sms bersama temanku, yang nggak pernah bosan membahas percintaan, kami pun mendiskusikan esensi dari sebuah hubungan percintaan, relationship. Hahaha, sepertinya aku sudah banyak ya menulis soal cinta-cintaan? Biarin lah. Tapi, sekali lagi kuingatkan, teori yang ditulis oleh seorang jomblo, jangan dipercaya 100% ya, buat diri sendiri mereka aja sulit apalagi untuk orang lain ^^v
Rumput tetangga memang selalu nampak lebih hijau ya, orang yang sudah berpasangan bisa ngiri pada yang jomblo, sedangkan si jomblo hina ini selalu ngiri pada yang sudah berpasangan. Sebenarnya kenapa sih?
Menurutku (ini hanya pendapatku saja lho), memang dalam suatu hubungan percintaan, mengatasnamakan “komitmen pacaran”, seseorang bisa saja memiliki tendensi untuk membuat dirinya sendiri atau pasangannya tidak nyaman. Sekalipun dalam sebuah hubungan, komitmen itu penting (bahkan ada yang melebih-lebihkannya menjadi sangat penting), tapi kebanyakan orang (dalam hal ini yang pernah menjalin cerita denganku) memaknainya dengan cara yang tidak tepat, entah itu berlebihan, atau malah kurang. Alhasil, yang kerasa malah depressnya aja, malah jadi saling menyakiti. Dan hubungan yang "masochist" kaya gini ini yang nggak sehat. Padahal katanya sayang... katanya cinta... kok malah bikin sedih dan sengsara?
Hmm.. aku ngomong kaya gini karena aku sendiri pernah ngerasain kok. Buat sahabatku, selain harus memahami karakter si dia (though it's already reflected in me),kamu juga harus tau apa yang kamu mau. Jangan sampai hubunganmu cuma searah, kaya bertepuk sebelah tangan saja. Kalau ada yang kamu inginkan dari hubungan itu, bilang aja. Segala sesuatunya dikomunikasikan. Sial, kenapa aku harus nyebut kata ini sih? Komunikasi.
Ini nih yang sering banyak pasangan salah artikan. Komunikasi. Via media apapun. Mana sih yang lebih penting? Kuantitas atau kualitas? Lebih baik mana ketika kita satu kali nelpon tapi banyak yang diceritain dan membuat hubungan makin hangat, atau sms 1000 kali yang isinya cuma tanya-jawab "kamu sedang apa? dimana? sama siapa? kok sama dia sih? kok lama balesnya? lagi sibuk banget ya, sampe nggak sempet bales sms,". WAAAAKKSSS!!! Lagi-lagi, aku pernah kok ngalami yang seperti ini. Sialnya, lagi-lagi karena aku cewe, cuek is absolutely not allowed!!!! hiks...
(Ini kalau aku lho) Jika aku sudah jatuh cinta sama seseorang, tanpa dipaksa atau dioyak-oyak, aku pasti secara otomatis ngasih tau dia update berita terbaruku kok *digetok*. Walaupun range waktu antara satu berita dengan berita selanjutnya nggak mesti kaya breaking news yang sejam sekali, bisa aja setelah berminggu-minggu baru kukabari, tapi pasti kukasi tau kok. Pernah sesekali aku ditanya seperti ini, "Kok kamu nggak bilang kalau minggu kemarin tambal gigi?" hyaelaaaah.... speechless dah!! Itu sih aku nggak sengaja ya, nggak ngasi taunya... selaen karena aku ini memang pelupa banget (see the details here), aku juga nggak menganggapnya penting... Parah ya?

Entah ada apa nih, akhir-akhir ini malah orang-orang di sekitarku yang ribet karena status single-ku. Padahal akunya biasa-biasa saja, mereka asik ngejodoh-jodohin. Ckckck… bukannya nggak mau, tapi belum waktunya aja kurasa, toh aku nggak merasa se-desperate itu dalam urusan percintaan. Hanya sedang menunggu waktu dan orang yang tepat saja.
Apa aku masih terjebak dalam masa lalu yang (buatku) menyakitkan itu? Ah, nggak juga. Walaupun sebagian membuatku jadi lebih banyak pertimbangan dalam memilih pasangan. Membuatku menjadi lebih mikir-mikir buat sekedar bilang "kangen" atau "sayang" pada seseorang, padahal KANGEN ITU MENYIKSA, saudara-saudaraaaa!!!
Love... is a many splendor thing...
Love... can make a man a king...
Cinta... deritanya tidak pernah berakhir...
Hahahaha!! Oke oke, daripada aku tambah ngaco aja nih, bisa2 digaplok sama sahabatku yang sering jadi korban teori-teori anehku ini, mending kita sudahi saja. Semua ini cuma gumamanku aja lho...
Never know when, never know who...
I'm sure he'll be the best for me
I miss you...
Tuesday, July 28, 2009
Nikah??
Hm,3 minggu lalu mbak spupuku nikah. Tapi aku ga bisa dateng. Hiks.
Tapi bukan itu masalahnya. Oke,nikah bkal jadi isu yang slalu sensitif dan hangat beberapa waktu ke depan dalam hidupku. Beberapa tmen udah nikah beberapa tahun yang lalu (what?!),beberapa baru nikah,dan beberapa berencana nikah.
What makes them decided to get married?
Ada yang dijodohkan,ada yang karna pacarnya dah mapan,ada yg by accident, etc etc..
Aku obrolin ini ma sobatku. Dan jawabnya, ''Karna enak,mungkin..'' lah,kalo enak,kamu sendiri piye? Yakin mao nikah ma (pacarmu) yang ini?
''Hm..masi ad deviasi sbsr 50% jg.hehe..jauh.ak masi bth muikir puanjang bwt yg 1 itu..ak blm siap ap2..umur jg blm ngejar2 koq.haha..''
Hahaha!!
Capek deh..
N what about me?
In my thought.. (All i wanna write down here is just in my opinion ya..)
Marriage is not all about love and commitment. Pondasi yang kokoh harus dibangun di dalam diri dulu. Lalu di-share dengan calon pasangan. Adjustment penting banget. Menyamakan visi dan misi hidup. Seperti membuat sebuah perusahaan. Juga dilandasi kepercayaan yang kuat satu sama lain. Bayangin aja kalo dalam perusahaan ada yang curigaan? Ambyar dah!! Selain itu cara pandang terhadap sesuatu dan cita-cita masa depan juga harus sejalan. Ga mungkin kita jalan ke barat laut dia jalan ke timur laut,walaupun saat ini bertemu di titik tengah,tapi di masa depan gak pernah nyambung,repot kan?
Kliatannya ribet ya??
Ah,sgala masalah di atas bisa diselesaikan ko. Tergantung kedewasaan. Beberapa pasangan berhasil melaluinya di usia muda,mungkin. Tapi kalau aku,mungkin belum sedewasa itu,belum berani nikah.
Buat sahabatku,gmana kalo kamu? Walopun nikah itu enak,tapi moga2 komitmen seumur hidup itu disepakati dengan orang yang tepat. Hope u have find one. Tar aku nyusul dah 4bulan kemudian,sesuai umur. Hehehe..
Sunday, June 21, 2009
Our Actual Age
Hehhee... itu yang bisa dibaca dari salah satu kuis aneh di facebook (biasalah, kuis2 di fb pada ra mutu, hihihihi...)
Apa bisa sih "actual age" seseorang dinilai dari jawaban pertanyaan2 aneh itu??
Sekitar 2 minggu lalu, malem2, di KFC, sambil duduk (dan makan tentunya), tiba2 aku keinget sesuatu. Aku punya temen yang namanya Gaara (his actual name is Gara, yuuupp Gara), he's one of my boy-bestfriend in campus. Selisih umurku sama dia cuma 2 hari, aku lahir tanggal 12 dan dia tanggal 14. Yaaapp, I'm 2 days older than him (yang kadang2 bikin dia sewot karna kubilang "cah cilik" hahaha, peace gar!!).
"Alaaahh, kowe mung luwih tuwo rong (2) dino we nggaya!!" protesnya.
Am I actually older than him??
Akhirnya muncullah pikiran nggak nggenah seperti ini:
Kadang kita nggak tau, apakah kita ini bener2 sesuai dengan umur kita apa gak (not mentally, I mean). Apakah kita bener2 lebih tua dari orang lain yang "umur kelahirannya" dekat dengan kita.
Kenapa umur kita ditetapkan dari saat kita lahir? Bukannya dari mulai terbentuknya kita??
In case, seperti aku dan temenku itu. Mungkin aja dia itu terbentuk lebih dulu dari aku (I'm not talking about make a baby lhoo... heheh). Proses "jadi"nya dia dan aku mungkin aja lebih dulu dia kaaan??? Contoh juga, sahabatku yang lain, dia lahir prematur, waktu usia di kandungan ibunya masih 7 bulan, jadi dia lahir lebih dulu 8 bulan dari aku. Padahal kalo dihitung, idealnya dia cuma lebih tua setengah tahun dari aku kaaan???
Bisakah perhitungan umur kita bukan berdasarkan "hari lahir" kita, tapi "hari terbentuknya" kita?? Well... tapi bakalan susah bgt menentukannya, harus ada teknologi kedokteran yang bener2 oke untuk mendeteksi kehamilan (dan perkembangan janin), untuk mendeteksi "our actual age" secara akurat ^^v