Selamat datang bulan April 2012! Yeah, untuk keberapa malam aku nggak bisa tidur, udara yang sumuk ceria sungguh nggak nyaman untuk ditiduri, dan yang membuatnya ebih buruk adalah kenyataan kalau seminggu kedepan weekdays-ku akan dipenuhi oleh mid term exams. Aku harus belajar sebaik mungkin untuk menghadapinya. Tapi kenapa sulit sekali ya...
Tahun lalu, nggak lama setelah meraih gelar “Sarjana Teknik” aku kembali menenggelamkan diri dalam dunia pendidikan. Seperti orang yang nggak jera, kuliah S1 aja baru bisa kuselesaikan 5 setengah tahun, ini kok mau ambil kuliah S2, di luar negeri pula.
I just so damn lucky I got this chance. Jujur aja, ilmu yang kudapat dari S1 itu hanya sedikit sekali yang mengendap di otak. If you ever know, aku pernah merasa putus asa setelah tes wawancara S2 di ITB. Kemampuan teori ku NOL. Nggak ada satu teori yang kupelajari di S1 dulu mengendap di otakku. Apa itu teori Kevin Lynch? Aku lupa total. Kredibilitasku sebagai alumni Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota UGM seperti tercoreng arang. Apa-apaan aku ini...? Keluar dari ruang wawancara, aku cari pojok sepi, telpon si Kamen Rider dan menangis sejadi-jadinya sambil melempar bola-bola tisu. Embarassing. Saat itu, aku bener-bener merasa down. Dan aku bertekad untuk pergi ke luar negeri dan membuktikan kalo aku bisa jadi mahasiswa S2 di luar negeri walaupun nggak ingat teori Kevin Lynch!
Pergi ke Thailand, sendirian dan tanpa beasiswa, bener-bener jadi beban buatku, lebih lagi orang tua. Beasiswa waktu itu juga belum pasti diterima atau nggak. Yang pasti, kalo nggak diterima, aku bakal mati-matian cari sampai dapat. And still, I’m just a lucky bastard I could get the scholarship, Dikti. Masalah berhenti di situ?
No.
Aku belajar dengan tenang selama setengah semester pertama, sampai sebelum banjir. Nilai mid term exams so – so lah, B+ untuk semua mata kuliah. See? I’m not a typical outstanding student. Just a very ordinary student. I’m not genius, nor diligent.
Selesai semester pertama yang kacau balau di Hua Hin, aku kembali ke Indonesia dan berlibur dengan tenang. Nilai semester pertama keluar. IP semester: 3.3
Masih ada yang nggak jelas dengan kontrak beasiswaku, terutama untuk instansi dimana aku mengabdi. Yang aku tau, seharusnya aku bersedia ditempatkan dimana saja, yaa walaupun jujur dalam hati aku nggak bersedia juga ditempatkan di universitas yang jauh, terutama jauh dari suamiku kelak. Sialnya, gengsiku terlalu tinggi untuk ditempatkan di universitas yang menurutku nggak keren.
Di kontrak tertulis instansi asalku ya di universitas yang meluluskan aku. Tapi sungguh aku nggak pernah ada kontrak kerja apa-apa dengan almamaterku itu. Dan ketika kutanyakan, bisakah aku untuk mengajar disana, cukup 5 tahun itu aja nggak apa-apa deh…, jawabannya: “Sayangnya IPK S1 kamu kurang dari 3.5, kalaupun kamu mau masuk lewat jalur S2, IPK kamu lebih dari itu, misalnya 3.7 gitu, bisa kami pertimbangkan,” what? Rasanya kepalaku seperti kejatuhan beton yang sampai sekarang nggak pernah bisa kusingkirkan. 3.7 gimana dapetinnya dengan otak pas-pasan kayak gini? Ditambah lagi IPK semester 1 hanya 3.3, semester 2 dengan beban yang harus kuambil 15 credits. It will blow my head. How come?? If somebody knows how to get GPA 3.7 please tell me how…
Selama kuliah setengah semester ini… rasanya otakku lelah sekali. Hanya di kelas aku bisa belajar, itu pun dengan terkantuk-kantuk, dan kadang nggak konsentrasi. Di luar kelas, di dorm, aku sudah nggak sanggup belajar lagi. Sekalipun aku mau baca handout dan buku bertumpuk-tumpuk, tetap nggak ada yang bisa nyangkut di otakku. Belum lagi sleeping disorder yang mulai menyerang. Gampangnya sih aku tinggal minum obat flu, dan tidur. Tapi sungguh aku nggak ingin merusak tubuhku dengan obat saat aku nggak sakit.
Sedikit penyesalan datang kenapa aku nggak cari kerja aja setelah lulus ketimbang sekolah lagi yang di luar kemampuan dan pengalamanku. Dan kenapa aku daftar beasiswa yang konsekuensinya aku harus mengajar di universitas. Kenapa pula gengsiku terlalu tinggi sehingga aku terlalu pilih-pilih untuk mendaftar jadi dosen. Salahkan semua sama mimpiku yang muluk-muluk untuk menjadi professor. Jadi dosen pun sulit. Mau nerusin PhD dengan IPK S2 nggak sampai 3.5 (lagi-lagi kenapa semuanya harus 3.5?).
Dan suara-suara itu pun datang.
“Mungkin mereka berat kalau menerima kamu, bukan hanya karena IPK kamu, tapi kalau mereka terima kamu, tiba-tiba ada anak lain yang mendaftar, IPKnya lebih tinggi dari kamu, dan lulusan Jerman pula, mereka ngerasa rugi,” DAMN! I can go to Germany fo PhD!
“Mungkin cuma segitu kemampuanmu,” siapa kamu bisa ngomong gitu cuma karena nilaimu A sedangkan aku B di mata kuliah kayak gitu?!
Kalaupun semester kali ini jatuh lagi, aku nggak tau lagi apa yang bisa kulakukan untuk kehidupan akademikku. Research anggak ada nilainya, IPK cuma dinilai dari course.
I don’t know what to say anymore. I just so sad feeling so stupid and don’t know anything about what I’m studying, and people start to underestimate me.
This feels so bad… (T_T)
bersyukurlah karna masih diberi kesempatan untuk hidup. karna hanya dengan hidup lah kita bisa merubah smua hal yg ada
ReplyDeletesetuju! Semangat semangaaaat niih
ReplyDeletedoakan yaa... minggu ini aku mid term, moga2 nilainya bagus, amin
sep. ditunggu traktiran nasgornya...*loh kok?* :-p
ReplyDeletehaish,,,ayo semangat!!! banyak loh yg kepingin s2 dengan beasiswa *wah curcol malah*
ReplyDeleteyang sembarangan under estimate anggep aja kurang gaul, mungkin ini lagi proses adaptasi jd nya masih naik turun kayak roler coaster, yakin deh IP yg katanya pas-pas-an kayak getu kalau jadi dosen lebih manusiawi *cross finger*