Kota berbudaya? Maksudnya kota dengan nuansa budaya yang kerasa banget, yang dimana-mana pamer ciri khas budaya tradisionalnya? I live in Jogja since I was a child. And people call this city as City of Students, City of Culture, karena itu harus menonjolkan sangat-sangat citra “pelajar”nya atau “budaya”nya secara visual, fisik saja, atau jargon saja? Oh, please, bukan sesempit itu.
Dalam pemahamanku soal ini, kota berbudaya, nggak hanya secara fisik semata. Nggak hanya bangunan-bangunan bagus dan “klasik” berjajar rapi, tapi juga budaya baik masyarakatnya. Orang boleh bilang Amerika adalah negara yang nggak kerasa iklim budayanya, tapi aku inget banget gimana ramahnya orang di Boston, waktu itu tiba-tiba ada bapak-bapak yang nunduk terus meraih kakiku, sebagai orang Indonesia yang terbiasa curigaan, aku pun kaget dan menjauhkan kakiku, eh ternyata si bapak cuma mau ngikat tali sepatuku yang lepas kemana-mana. Walah, kalau disini, boro-boro mau naliin, peduli pun enggak, kalo iya, pasti ada maunya (masih kebawa deh curigaannya).
Oke, kembali lagi. Apa sih yang bikin kota-kota di Indonesia nampak semrawut? Core problemnya ada di masyarakatnya sendiri, yang kurang aware dengan lingkungan dan sumberdayanya sendiri. Didukung juga dengan budaya merusak dan suka me-reject duluan. Bukan bermaksud nge-blame siapapun disini, tapi menangkap fenomena yang terjadi.
Pernah kan kalian lihat telpon umum? Mungkin sekarang udah nggak jaman sih, tapi jaman aku SMP dulu, telpon umum jadi fasilitas komunikasi yang signifikan buat aku menghubungi papa atau mama, minta dijemput, hehe. 10 tahun lalu, telpon umum itu aja kondisinya sudah parah, ada yang udah nggak bisa dimasukin koin karena keseringan digetok-getok atau disodok-sodok sama anak-anak (biasanya keluar uang recehannya lho), ada juga yang udah nggak ada gagangnya, heran kan, buat apa sih nyolong gagang telpon umum?
Kalo mau bandingin sama di luar negeri, kondisinya masih utuh dan berfungsi baik walaupun udah bertahun-tahun. Kesadaran kita buat memelihara fasilitas umum masih kurang sekali. Padahal kalau demo, semua demi kepentingan rakyat, apa fasilitas yang disediakan itu nggak sesuai dengan masyarakat ya? Giliran ngeliat negara lain, negara tetangga aja bisa punya subway train, kitanya ngiri, pengen, trus nyalahin pemerintah lagi. Padahal mikir juga kalau mau ngasih fasilitas hebat kayak gitu, orang kereta api biasa aja kacanya sering pecah gara-gara dilemparin, gimana mau bikin subway mahal-mahal?
Di sisi lain, maintenance fasilitas umum juga masih kurang sih. Orang jogja pasti inget antusiasme menyambut beroperasinya bus Trans Jogja kapan hari itu, angkutan umum ber-AC, yang jalurnya teratur, murah lagi, cuma 3000. Tapi nggak selang berapa lama, hmm, AC-nya mulai nggak dingin dan kalau malem lampunya remang-remang, oh moga-moga habis ini nggak ada yang bawa-bawa ayam atau kambing ke dalam bis juga, bisa-bisa bernasib sama kaya colt. Lupakan masalah ayam dan kambing, kembali ke maintenance, pihak penyelenggara juga harus cepat tanggap donk kalau ada penurunan kualitas dari fasilitas umum, karena itu juga mempengaruhi kenyamanan penggunanya, nggak worth it lah masa bayar 3000 tapi kualitas gopek. Nanti orang jadi ilfil juga mau pake kan?
Jadi ingat kajian pedestrian di semester 6 dulu, kenapa masyarakat perkotaan di Indonesia lebih suka naik kendaraan daripada jalan kaki? Iyalah, gimana enggak, jalan kaki di jalan-jalan besar di Indonesia sama kayak bunuh diri, rawan ketabrak, paling minimal keserempet. Kenapa? Karena kita nggak nggak bisa jalan dengan nyaman di trotoar. FYI, trotoar di Indonesia itu milik tanaman sama PKL.
Selain budaya ngerusak dan nggak bisa memelihara fasilitas umum, satu lagi, nyolongan (I had mention it before). Ini sih sama saja nyolong fasilitas umum, nyolong space buat pejalan kaki. Mengorbankan orang lain untuk kepentingan pribadi. Oke lah, dalam hal ini mereka buat cari makan, tapi pejalan kaki juga sama-sama cari makan, right? Efek dari penyerobotan pedestrian space ini adalah semakin berkurangnya pejalan kaki, naik angkutan umum juga nggak nyaman, jadinya pada naik kendaraan pribadi, lalu lintas padat, polusi udara dan krisis energi, ozon bolong dan dampak secara luasnya, global warming.
Kalo gitu, bukan cuma jadi urusan pemerintah dan pengembang aja, tapi masyarakat juga. Masyarakat punya peran yang sangat sangat signifikan dalam menjaga keberlanjutan (sustainability) lingkungan. Perlu sedikit menggeser mind-set masyarakat dulu disini. Gimana ya, biar semuanya lebih merasa memiliki kota. Kerjasama yang kompak dan harmonis antara masyarakat, pemerintah, dan pengembang, semua stakeholders turut aktif dalam perannya masing-masing. Nggak perlu muluk-muluk kan buat menciptakan kota yang sustainable, benerin dari yang kecil-kecil aja. Kalo kata Pak Ridwan Kamil, “Yang dilakuin mungkin nggak sampai bisa mengubah 1% dari keruwetan seluruh kota Jakarta, tapi paling enggak yang nggak sampai 1% itu bermanfaat bagi masyarakat,”.
Kota berbudaya di masa depan yang aku bayangin, bukan cuma physically kaya Kyoto, tapi masyarakatnya juga lebih respect dengan lingkungan, nggak cuma bisa menuntut tapi juga bisa memelihara kotanya. Kota berbudaya bukan hanya dimana-mana joglo, dimana-mana batik, dimana-mana etnik atau yang klasik-klasik saja, tapi harus dibangun juga “budaya” itu sendiri. Budaya itu kan adalah satu hasil peradaban manusia, sudah bukan waktunya kita cuma nuntut fasilitas, masih hobi ngerusak, nyerobot hak orang atau nyolong. Sekarang waktunya lebih aware pada sekeliling, pelihara fasilitas yang udah ada, kan kita juga yang menikmatinya.
Artworks on public spaces during Jogja Jamming Biennale X
FOR THE FUTURE!!!
未来のために
FOR LIFE!!!
生活のために
Dalam pemahamanku soal ini, kota berbudaya, nggak hanya secara fisik semata. Nggak hanya bangunan-bangunan bagus dan “klasik” berjajar rapi, tapi juga budaya baik masyarakatnya. Orang boleh bilang Amerika adalah negara yang nggak kerasa iklim budayanya, tapi aku inget banget gimana ramahnya orang di Boston, waktu itu tiba-tiba ada bapak-bapak yang nunduk terus meraih kakiku, sebagai orang Indonesia yang terbiasa curigaan, aku pun kaget dan menjauhkan kakiku, eh ternyata si bapak cuma mau ngikat tali sepatuku yang lepas kemana-mana. Walah, kalau disini, boro-boro mau naliin, peduli pun enggak, kalo iya, pasti ada maunya (masih kebawa deh curigaannya).
Oke, kembali lagi. Apa sih yang bikin kota-kota di Indonesia nampak semrawut? Core problemnya ada di masyarakatnya sendiri, yang kurang aware dengan lingkungan dan sumberdayanya sendiri. Didukung juga dengan budaya merusak dan suka me-reject duluan. Bukan bermaksud nge-blame siapapun disini, tapi menangkap fenomena yang terjadi.
Pernah kan kalian lihat telpon umum? Mungkin sekarang udah nggak jaman sih, tapi jaman aku SMP dulu, telpon umum jadi fasilitas komunikasi yang signifikan buat aku menghubungi papa atau mama, minta dijemput, hehe. 10 tahun lalu, telpon umum itu aja kondisinya sudah parah, ada yang udah nggak bisa dimasukin koin karena keseringan digetok-getok atau disodok-sodok sama anak-anak (biasanya keluar uang recehannya lho), ada juga yang udah nggak ada gagangnya, heran kan, buat apa sih nyolong gagang telpon umum?
Kalo mau bandingin sama di luar negeri, kondisinya masih utuh dan berfungsi baik walaupun udah bertahun-tahun. Kesadaran kita buat memelihara fasilitas umum masih kurang sekali. Padahal kalau demo, semua demi kepentingan rakyat, apa fasilitas yang disediakan itu nggak sesuai dengan masyarakat ya? Giliran ngeliat negara lain, negara tetangga aja bisa punya subway train, kitanya ngiri, pengen, trus nyalahin pemerintah lagi. Padahal mikir juga kalau mau ngasih fasilitas hebat kayak gitu, orang kereta api biasa aja kacanya sering pecah gara-gara dilemparin, gimana mau bikin subway mahal-mahal?
Common views; city view from roof top, stalls and illegal parking, washing clothes in the river. Could you imagine the pollution? See… environmental destructions is not always wealthy people's works!
Di sisi lain, maintenance fasilitas umum juga masih kurang sih. Orang jogja pasti inget antusiasme menyambut beroperasinya bus Trans Jogja kapan hari itu, angkutan umum ber-AC, yang jalurnya teratur, murah lagi, cuma 3000. Tapi nggak selang berapa lama, hmm, AC-nya mulai nggak dingin dan kalau malem lampunya remang-remang, oh moga-moga habis ini nggak ada yang bawa-bawa ayam atau kambing ke dalam bis juga, bisa-bisa bernasib sama kaya colt. Lupakan masalah ayam dan kambing, kembali ke maintenance, pihak penyelenggara juga harus cepat tanggap donk kalau ada penurunan kualitas dari fasilitas umum, karena itu juga mempengaruhi kenyamanan penggunanya, nggak worth it lah masa bayar 3000 tapi kualitas gopek. Nanti orang jadi ilfil juga mau pake kan?
Jadi ingat kajian pedestrian di semester 6 dulu, kenapa masyarakat perkotaan di Indonesia lebih suka naik kendaraan daripada jalan kaki? Iyalah, gimana enggak, jalan kaki di jalan-jalan besar di Indonesia sama kayak bunuh diri, rawan ketabrak, paling minimal keserempet. Kenapa? Karena kita nggak nggak bisa jalan dengan nyaman di trotoar. FYI, trotoar di Indonesia itu milik tanaman sama PKL.
Selain budaya ngerusak dan nggak bisa memelihara fasilitas umum, satu lagi, nyolongan (I had mention it before). Ini sih sama saja nyolong fasilitas umum, nyolong space buat pejalan kaki. Mengorbankan orang lain untuk kepentingan pribadi. Oke lah, dalam hal ini mereka buat cari makan, tapi pejalan kaki juga sama-sama cari makan, right? Efek dari penyerobotan pedestrian space ini adalah semakin berkurangnya pejalan kaki, naik angkutan umum juga nggak nyaman, jadinya pada naik kendaraan pribadi, lalu lintas padat, polusi udara dan krisis energi, ozon bolong dan dampak secara luasnya, global warming.
Traditional transportation, less pollution, but what about time effectiveness?
We still need for speed
We still need for speed
Kalo gitu, bukan cuma jadi urusan pemerintah dan pengembang aja, tapi masyarakat juga. Masyarakat punya peran yang sangat sangat signifikan dalam menjaga keberlanjutan (sustainability) lingkungan. Perlu sedikit menggeser mind-set masyarakat dulu disini. Gimana ya, biar semuanya lebih merasa memiliki kota. Kerjasama yang kompak dan harmonis antara masyarakat, pemerintah, dan pengembang, semua stakeholders turut aktif dalam perannya masing-masing. Nggak perlu muluk-muluk kan buat menciptakan kota yang sustainable, benerin dari yang kecil-kecil aja. Kalo kata Pak Ridwan Kamil, “Yang dilakuin mungkin nggak sampai bisa mengubah 1% dari keruwetan seluruh kota Jakarta, tapi paling enggak yang nggak sampai 1% itu bermanfaat bagi masyarakat,”.
Kota berbudaya di masa depan yang aku bayangin, bukan cuma physically kaya Kyoto, tapi masyarakatnya juga lebih respect dengan lingkungan, nggak cuma bisa menuntut tapi juga bisa memelihara kotanya. Kota berbudaya bukan hanya dimana-mana joglo, dimana-mana batik, dimana-mana etnik atau yang klasik-klasik saja, tapi harus dibangun juga “budaya” itu sendiri. Budaya itu kan adalah satu hasil peradaban manusia, sudah bukan waktunya kita cuma nuntut fasilitas, masih hobi ngerusak, nyerobot hak orang atau nyolong. Sekarang waktunya lebih aware pada sekeliling, pelihara fasilitas yang udah ada, kan kita juga yang menikmatinya.
Mari kita bangun budaya positif mulai dari diri sendiri, untuk menuju kota yang “berbudaya”.
Joglo, a Javanese traditional architecture
Kotagede residential view
Joglo, a Javanese traditional architecture
Kotagede residential view
Jogja corner: walls of mural
Artworks on public spaces during Jogja Jamming Biennale X
(December 2009-January 2010)
FOR THE FUTURE!!!
未来のために
FOR LIFE!!!
生活のために
Hmm, dari nada tulisannya sepertinya sedang kesal nih? :)
ReplyDeletehahaha... malah enggak kesal sih, cuma uneg-uneg dari dulu aja ^^
ReplyDeletekebanyakan salah Pemerintah..
ReplyDeletebelum tentu juga, pemerintah dan rakyatnya nggak kompak, itu aja sih
ReplyDeleteGara-gara Si Komo lewat...
ReplyDeletepenyerapan budaya barat yang salah kaprah, hanya mengambil enaknya buat ogah ogahan yang bikin gawat...mau dapet fasilitas bus ber AC nyaman dan tertib tetapi ga mau merawat..C#
ReplyDeleteinikok..semacam seram ya..
ReplyDeleteakhir-akhir ini bahas lingkungan ya?
ReplyDeletebetul mbak, infrastruktur memang harus dibarengi kesadaran masyarakat
ReplyDeletehahahaha... isu perkotaan dari dulu yang nggak pernah selesai, macet!
ReplyDeletesi Komo jadi kambing hitamnya, hehehe
akhir-akhir ini Jogja juga macet ya... X(
menurut kamu, salah pemerintah yang banyak itu apa aja sih? sekalian buat aku belajar^^
ReplyDeleteini pemikiran yang sama denganku, Indonesia banget, seram. hehehe... tapi itu artinya orang sana bisa peduli sama orang lain, kalo disini? hm??? bisa dikira ada maksud hipnotis atau gendam, hahahahaha
ReplyDelete"hanya mengambil enaknya buat ogah-ogahan"
ReplyDeletehahahaha... LIKE THIS dah. sebenernya pengadaan fasilitas (publik) itu pada dasarnya baik dan untuk kemudahan masyarakat juga. cuma yaaa... kembali lagi ke
"mau dapet fasilitas bus ber AC nyaman dan tertib tetapi ga mau merawat"
susahnya, masyarakat masih banyak yang belum siap dapet fasilitas tersebut... nggak mau merawat, padahal ya buat kebaikan dan kemudahannya juga...
ah, sebenernya nggak juga, aku masih sering nulis yang geje-geje, atau yang cinta-cintaan, lihat aja di posting2 sebelumnya. nulis ini karena memang lagi mood dan lagi ada yang dipikirin. kalau soal lingkungan, emang tema yang aku suka sih...
ReplyDeleteYodhi apa kabar nih?
@ yodhiponica
ReplyDeleteah, sebenernya nggak juga, aku masih sering nulis yang geje-geje, atau yang cinta-cintaan, lihat aja di posting2 sebelumnya. nulis ini karena memang lagi mood dan lagi ada yang dipikirin. kalau soal lingkungan, emang tema yang aku suka sih...
Yodhi apa kabar nih?
@ mas Gembili:
ReplyDeleteYUP!!! penting itu untuk membangun kesadaran masyarakat, untuk memelihara kotanya sendiri, mengutip presentasi pak Ridwan Kamil (URBANE), "We shape our cities thereafter the city shape us" - Churchill
LOL
ReplyDeletebiasanya si pinku sih curcol
*ampun*
^^V
alah
bekasi jakarta makin panas pinku
cuma orang-orang yang kerja apaan tuh udah nanam pohon sih
polusi juga tetep
fuh~~
hahaha... kapan2 aku pasti nulis curcolan lagi
ReplyDeleteini lagi belum ditulis sih, benernya banyak... hehehe!!!
woah? kamu tinggal di bekasi to? wah wah wah... my mr. it's complicated juga dari bekasi (tuh, curcol lagi kan) hahahaha *plaaakk!!*
hmm... budaya bercocok tanam rupanya masih belum cukup untuk mengatasi polusi. sama aja sih kalo udah nanem banyak pohon, tapi volume kendaraan bermotor masih banyak dan masih suka buang sampah sembarangan. hahahaa *hand myself a mirror, moga2 aku nggak pernah lah buang sampah sembarangan... hehe*
wew
ReplyDeletebener-bener Queen Of Curcol
^^
kenapa toh dengan bekasi lagi? LOL
masalahnya kadar kendaraan emang ga bisa dikurangin kan
gtw kenapa
yang ada malah meningkat
kan lebih murah naik kendaraan sendiri daripada angkot