Hai people! Do you feel okay today? I somewhat feel a bit bored with the jobless life today, nothing to do, and everything still uncertain :(
Sepagian tadi di radio, twitter dan facebook semuanya update kalau hari ini didaulat sebagai Hari Film Nasional, yup, harinya film Indonesia, yang konon tanggal 30 Maret diambil berdasarkan hari shooting pertama film “Doa dan Darah” yang disutradarai oleh Usmar Ismail pada tahun 1950. Film Doa dan Darah sendiri adalah film pertama yang dibuat oleh anak bangsa dan perusahaan milik bangsa Indonesia sendiri (PERFINI) dimana Usmar Ismail juga termasuk salah satu pendirinya. (wikimu.com)
And then? What should we do to commemorate this historic day? Is anyone would see Indonesian movies in 21 today, which is almost all of the movies are cheap sex or horror in genre. Huff… sorry to say, I ABSOLUTELY WOULDN’T WANNA COME TO CINEMA TO SPEND MY MONEY FOR IT. So, how could we appreciate Indonesian movies if the movie offered is still underrate?
Though film making is not my main concern anymore, and I recently become only an ordinary moviegoer or I called it movie appreciator, but I think I really care with our local movies, not only in national scale but also regional.
Bisa dibilang aku sepertinya sudah addicted to movie (dalam bahasa klub filmku, FIAGRA, disebut movieholic). Hampir setiap minggu pasti ada sekali atau dua kali lah aku pergi ke bioskop, XXI maupun 21, dan kalau udah lebih dari 2-3 minggu aku nggak ke bioskop, dan nampak bete, pasti driverku langsung nawarin, “Mbak nggak ke XXI?” hahaha, sampai hapal beliau.
Papaku juga suka ngajakin ke bioskop, kalo lagi ada film Indonesia yang (nampaknya) oke, atau ketika lagi suntuk, dan itu maunya nonton film Indonesia. Waktu aku tawarin buat nonton film barat ke XXI, beliau menolak, “Ah, nonton film Indonesia aja ya, yang ringan, nggak pake mikir”. Wah, film Indonesia ringan dan nggak pake mikir? Yah, mau gimana lagi, habis yang kebanyakan ditawarkan di bioskop emang yang genre-nya kayak gitu sih, ringan dan nggak bergizi. Sekalinya ada film bagus, kalo promosinya sip, kaya Laskar Pelangi, antre bisa membludak (bikin males), atau kalau promosinya kurang gencar bakalan sepi nyenyet kayak Ruma Maida atau May. Hew...
Sebenarnya susah juga buat menebak selera orang Indonesia dalam menonton (dan juga membuat) film. Menurutku, antara supply dan demand saling berbanding terbalik. Tren antara selera pasar dan selera film maker nggak pernah cocok. Akibatnya, kita sebagai penonton lebih banyak tetep milih nonton film Hollywood atau film Korea atau malah film Bollywood ketimbang film Indonesia. Padahal pilihan film Indonesia itu buanyaaak banget, ya walaupun harus diakui film-film yang gampang dijangkau ya film-film major yang diputer di bioskop itu ketimbang film indie yang nyarinya susah minta ampun.
Film major, ya seperti yang diputer di bioskop-bioskop itu, as you know, mengalami penurunan kualitas yang (menurutku) signifikan, dibandingkan dengan jaman-jaman pasca Ada Apa dengan Cinta? (AADC), yang dibilang sebagai masa kebangkitan film Indonesia dari mati suri. Siklusnya mbalik lagi ke film-film bermuatan sex dan horror nggak jelas. Film bagus berkualitas kemana? Wara-wiri dan juara di festival-festival tapi nggak pernah ngasih liat hasil karyanya ke masyarakatnya sendiri. Huft...
Film indie? Onani. Hehehe, sorry for saying (maybe) a bad word. But that’s what I’m thinking about indie films. Bahasa gampangnya, terlalu idealis, sebagai media ekspresi yang hanya memuasi diri sendiri (si pembuat film) dan hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu (ya terutama yang sama-sama membuat film). Padahal film dengan “pesan” tertentukan bisa juga dikemas dalam adegan-adegan yang ringan tapi mengena, nggak musti melulu pakai adegan dan shot-shot yang dark and gloomy, dan terlalu banyak adegan surealis dengan pesan tersirat, capek nerjemahinnya dua kali. Atau hanya aku saja yang berpikir demikian ya?
Pernah berpengalaman memproduksi film-film independent bukan berarti aku juga bisa bikin film yang oke, sehingga bisa seenak jidat ngeritik seperti di atas. Beberapa kali juga aku mencoba membuat karya dengan genre dan tema yang berbeda-beda, hanya untuk mencari sebenarnya gimana sih memformulasikan sebuah karya film yang bagus itu? Nggak cuma buat pembuat film, tapi juga penontonnya.
Technically, membuat film itu ya kayak gitu-gitu aja, bisa lah semua orang bikin kalau udah belajar tekniknya. Seperti karya seni yang lain, yang membuatnya lebih bernilai adalah muatan yang dibawa oleh film itu sendiri. Sebuah karya film harus inspiring, menginspirasi penontonnya, dan bisa mempengaruhi penontonnya untuk menjadi lebih baik atau at least berpikir lebih mendalam untuk menjadi lebih baik. Film itu karya yang multi-interpretasi, karya yang paling gampang disalahpahami. Yang dipikirkan penonton bisa nggak sejalan dengan yang dipikirkan pembuatnya, dan yang dipikirkan oleh satu penonton dengan penonton lain juga bisa beda-beda. Inilah yang bikin sulit. Contohnya, menurutku film Sex is Zero (film Korea yang dibintangi oleh Ha Ji Won) itu keren banget dan pesan moralnya dalem, walaupun kemasannya emang nampak ringan dan murahan banget. Tapi yang dipikirkan oleh temenku beda, itu film murni hiburan kocak yang bermuatan sex. Nah... bingung kan? Hal ini berlaku juga buat film Indonesia.
Berharap nanti akan ada banyak lagi film-film Indonesia yang bagus, jangan cuma dikirim ke festival aja, dan cuma diputer di event-event tertentu, tapi juga tayangkan di bioskop. Fight those cheap underrated films! Biar semuanya berlomba-lomba untuk membuat film yang bagus, nggak kalah dengan film-film Hollywood. Biar penonton Indonesia lebih memilih untuk menonton film-film karya bangsa sendiri lagi :)
(Me, first time as film editor in 2001 :D)
As for myself, kemarin habis nemu DVD film documenter tukang parkir yang kubuat untuk tugas Pengembangan Masyarakat (Community Development) semester 5 dulu. Wuih, jadi kangen bikin film lagi. Udah lama cuma jadi penonton, semoga kapan-kapan ketemu dengan partner-partner yang cocok, bikin cerita yang seru, dan produksi film lagi! (eh, apa sekarang aja ya mumpung masih jobless, hehe!)
mau liat filmmu :D
ReplyDeletemb kiki: ahem ahem,beberapa vcd ilang, beberapa korup, tp kalo mw liat boleh ko,ada yg aq pny sofkopinya. hahaha..
ReplyDeletehmmm... sama aku mau liat filmmu mbak, :P
ReplyDeletekamu cah piagra juga toh.. hoho
ealah,siapa ni kok tau fiagra? danang anak teknik kah? haha.. ya kpn2 blh kok liat :D
ReplyDeletebukaan yewwww :P, saya anak fisipol
ReplyDeleteminta softcopy filmnya :D
ReplyDelete*btw, ada politik perfilman menurutku dimana akhirnya membuat film2 indie yg bagus ngga bisa muncul di 21. mungkin karena keluarga punjab -__-
danang: ternyata fiagra trkenal jg mpe fisipol,haks3!!
ReplyDeleteisa: ntar aq cari dlu ya... :D
ahh,mgkn saja,tp aq ga tw pasti sih. tp sbg penonton, rasanya perlu ada film yg bgus dan berkualitas, spt makanan bergizi, bukan junk food
kan ada kumpul teman2 kine komunikasi ugm dan fiagra yaa...
ReplyDeletekemarin.. yeeee
haha,aku ga tau, udah ketuaan saya d fiagra. hahaha... oh gt? keren tu brati ada link dgn komunitas d fakultas lain. i'm proud to be part of fiagra :D
ReplyDeletelike that laah.... :D
ReplyDelete