lalalalala
A song calling for you
It’s calling for you
lalalalalala
lalalalala
Even thought I’m calling for you like this
Even if I calling for you
lalalalalala
A Song Calling for You – SS501
A song calling for you
It’s calling for you
lalalalalala
lalalalala
Even thought I’m calling for you like this
Even if I calling for you
lalalalalala
A Song Calling for You – SS501
Semalem aku disms sama seseorang, “Kok kamu sekarang manggil aku (nama asli) terus sih?” Hah? Aku bengong, ya, bengong lagi, what’s wrong with that? Dan akhirnya aku menjelaskan kalo aku sebenernya lebih suka manggil pake nama asli daripada julukan. Kenapa? Intensinya beda.
Seperti pertama kali kita memanggil “mama” dan “papa” pada orang tua kita. Walaupun setelah 22 tahun akhirnya aku memanggil mereka dengan ngaco, “mamo” dan “papo”. Dan panggilan keluargaku ke aku pun macem-macem. Mamaku memanggilku “kabme”, hahaha…ini Malang-an banget, dibalik dari kata “embak”. Sedangkan papaku dengan romantisnya memanggilku “jeng”, ihik ihik…. Terus adikku, dulunya dia memanggilku “embak” seperti biasa, tapi gara-gara keracunan RO (Ragnarok Online) akhirnya sejak SMA sampai sekarang dia memanggilku “cc”(cicik). Hehehe…
Dalam relationship, aku biasanya memanggil pacarku dengan nama panggilan asli mereka. Walaupun lebih tua, tetep aja aku jarang memanggil mereka menggunakan “mas”, habis rasanya kesannya genit sih. Pacarku yang terakhir kupanggil “abang”, karena kultur keluarganya begitu. Hmm… aku punya kisah sendiri dengan ini. Aku memanggilnya dengan panggilan “genit” gitu, sebenernya agak risi sih, tapi aku mencoba respect terhadap dia, masak katanya mau serius kok aku manggilnya kayak manggil teman-teman biasa. Yaya, akhirnya dengan inisiatif sendiri, aku pun memanggilnya begitu, dan dia membalas dengan memanggilku “adik” duh, padahal aku geli jua dipanggil begitu, karena secara struktur keluarga, aku ini kakak tertua dan di keluarga besar pun aku anak pertama dari anak pertama, jadi aku jaraaaang banget dipanggil “adik”. Seiring berjalannya waktu, aku mulai terbiasa dengan panggil-memanggil seperti itu, tapi… tapi tapi tapi, suatu ketika, waktu marahan, nggak sengaja aku menyebut dia dengan “kamu” dan menyebut diri sendiri dengan “aku”, dan dia tambah marah. Hah? Sebenernya itu kejadian yang nggak sengaja, dan secara kultur, itu adalah hal yang biasa untuk menyebut diri sendiri “aku” dan menyebut dia dengan “kamu”. Kenapa jadi masalah? Lama-lama urusan panggilan ini jadi masalah yang cukup pelik dalam hubungan kami. Aku, selfishly, mulai merasa terpaksa untuk memanggil dia dengan panggilan itu. Ya, menurutku, panggilan itu kan sukarela, bukan karena diwajibkan! Bahkan dalam hubungan aku dengan orang lain yang paling intimate, dengan keluarga, pun panggilan itu bisa bersifat fleksibel, tapi kok sama dia malah enggak, sifatnya mutlak. Huh…
Oke, enough for curcol. Let’s talk about the topic. Panggilan.
Buatku, dalam sebuah panggilan terhadap seseorang, terkandung makna respect dan intimacy di dalamnya. Bukan berarti segalanya bisa digeneralisasi. Aku memanggil seseorang biasanya dengan nama yang dia kenalkan padaku pertama kali. Tapi biasanya seiring dengan intimacy yang dibangun, akhirnya panggilan itu bisa saja berkembang.
Contohnya sama si Dakunk, temenku. Aku kenal dia dari SMP dengan nama aslinya, Danar. Dan 3 tahun setelah lulus SMP kami ketemu lagi di kuliah, sekelas pula. Temen-temen memanggilnya “Dakonk” panggilannya waktu SMA. Awalnya aku males banget ikutan manggil dia Dakonk. Tapi waktu aku panggil Danar, eh dianya nggak gitu ngeh. Jadinya aku kepaksa ikutan manggil dia "Dakunk", beda dikit lah. Hahahaha… Kisah lain, sahabatku sendiri deh, namanya Kartini, tapi aku panggil “mbak Tini”. Secara umur dia seumuran sama aku (beda 4 bulan tuaan dia sih), tapi secara angkatan akademik dia diatasku setahun (2004) walaupun akhirnya kami jadi seangkatan di kuliah. Gara-gara kebiasaan, aku masih memanggilnya dengan tambahan “mbak” di depan namanya, bukan karena aku nggak akrab, malah udah kelewat akrab ma dia, tapi panggilan ini menurutku karena ada factor historisnya, yaitu dia adalah kakak kelasku waktu SMA, seorang anak PMR yang selalu nolong aku setiap aku pingsan waktu latian t***i (censored). Hahahaha!!!
So, dalam memanggil orang lain dengan “panggilan sayang”nya masing-masing, aku bisa berbeda caranya. Belum tentu orang yang kupanggil/memanggilku dengan panggilan mesra itu bener-bener punya intensitas hubungan yang se”mesra” itu, dan belum tentu juga orang yang kupanggil/memanggilku dengan formal hubungannya juga formal dan kaku.
Semuanya tergantung cara kita memaknai respect dan intimacy yang tersirat di dalamnya…
Seperti pertama kali kita memanggil “mama” dan “papa” pada orang tua kita. Walaupun setelah 22 tahun akhirnya aku memanggil mereka dengan ngaco, “mamo” dan “papo”. Dan panggilan keluargaku ke aku pun macem-macem. Mamaku memanggilku “kabme”, hahaha…ini Malang-an banget, dibalik dari kata “embak”. Sedangkan papaku dengan romantisnya memanggilku “jeng”, ihik ihik…. Terus adikku, dulunya dia memanggilku “embak” seperti biasa, tapi gara-gara keracunan RO (Ragnarok Online) akhirnya sejak SMA sampai sekarang dia memanggilku “cc”(cicik). Hehehe…
Dalam relationship, aku biasanya memanggil pacarku dengan nama panggilan asli mereka. Walaupun lebih tua, tetep aja aku jarang memanggil mereka menggunakan “mas”, habis rasanya kesannya genit sih. Pacarku yang terakhir kupanggil “abang”, karena kultur keluarganya begitu. Hmm… aku punya kisah sendiri dengan ini. Aku memanggilnya dengan panggilan “genit” gitu, sebenernya agak risi sih, tapi aku mencoba respect terhadap dia, masak katanya mau serius kok aku manggilnya kayak manggil teman-teman biasa. Yaya, akhirnya dengan inisiatif sendiri, aku pun memanggilnya begitu, dan dia membalas dengan memanggilku “adik” duh, padahal aku geli jua dipanggil begitu, karena secara struktur keluarga, aku ini kakak tertua dan di keluarga besar pun aku anak pertama dari anak pertama, jadi aku jaraaaang banget dipanggil “adik”. Seiring berjalannya waktu, aku mulai terbiasa dengan panggil-memanggil seperti itu, tapi… tapi tapi tapi, suatu ketika, waktu marahan, nggak sengaja aku menyebut dia dengan “kamu” dan menyebut diri sendiri dengan “aku”, dan dia tambah marah. Hah? Sebenernya itu kejadian yang nggak sengaja, dan secara kultur, itu adalah hal yang biasa untuk menyebut diri sendiri “aku” dan menyebut dia dengan “kamu”. Kenapa jadi masalah? Lama-lama urusan panggilan ini jadi masalah yang cukup pelik dalam hubungan kami. Aku, selfishly, mulai merasa terpaksa untuk memanggil dia dengan panggilan itu. Ya, menurutku, panggilan itu kan sukarela, bukan karena diwajibkan! Bahkan dalam hubungan aku dengan orang lain yang paling intimate, dengan keluarga, pun panggilan itu bisa bersifat fleksibel, tapi kok sama dia malah enggak, sifatnya mutlak. Huh…
Oke, enough for curcol. Let’s talk about the topic. Panggilan.
Buatku, dalam sebuah panggilan terhadap seseorang, terkandung makna respect dan intimacy di dalamnya. Bukan berarti segalanya bisa digeneralisasi. Aku memanggil seseorang biasanya dengan nama yang dia kenalkan padaku pertama kali. Tapi biasanya seiring dengan intimacy yang dibangun, akhirnya panggilan itu bisa saja berkembang.
Contohnya sama si Dakunk, temenku. Aku kenal dia dari SMP dengan nama aslinya, Danar. Dan 3 tahun setelah lulus SMP kami ketemu lagi di kuliah, sekelas pula. Temen-temen memanggilnya “Dakonk” panggilannya waktu SMA. Awalnya aku males banget ikutan manggil dia Dakonk. Tapi waktu aku panggil Danar, eh dianya nggak gitu ngeh. Jadinya aku kepaksa ikutan manggil dia "Dakunk", beda dikit lah. Hahahaha… Kisah lain, sahabatku sendiri deh, namanya Kartini, tapi aku panggil “mbak Tini”. Secara umur dia seumuran sama aku (beda 4 bulan tuaan dia sih), tapi secara angkatan akademik dia diatasku setahun (2004) walaupun akhirnya kami jadi seangkatan di kuliah. Gara-gara kebiasaan, aku masih memanggilnya dengan tambahan “mbak” di depan namanya, bukan karena aku nggak akrab, malah udah kelewat akrab ma dia, tapi panggilan ini menurutku karena ada factor historisnya, yaitu dia adalah kakak kelasku waktu SMA, seorang anak PMR yang selalu nolong aku setiap aku pingsan waktu latian t***i (censored). Hahahaha!!!
So, dalam memanggil orang lain dengan “panggilan sayang”nya masing-masing, aku bisa berbeda caranya. Belum tentu orang yang kupanggil/memanggilku dengan panggilan mesra itu bener-bener punya intensitas hubungan yang se”mesra” itu, dan belum tentu juga orang yang kupanggil/memanggilku dengan formal hubungannya juga formal dan kaku.
Semuanya tergantung cara kita memaknai respect dan intimacy yang tersirat di dalamnya…
hahahahhaha;;;;;
ReplyDelete:)aku yg ge'er apa emang prtanyaanku yg inspiring tulisan ini??
Yeah, it's you!
ReplyDeleteaku pikir sedikit aneh kalo tiba2 wktu itu km panggil aku nofri,,,padahal di awal bukannya km bersikeras panggil tenjo ya??? wktu itu inget bgt aku lebih nyaman dipanggil nofri,,,tp kmudian km bilang ak kbiasaan panggil km tenjo soalnya.....
ReplyDelete